Tetapi, saat ini ada sebuah kehampaan yang mencekam, dan itu senantiasa menggelayuti kehidupan kita. Menghadapi kehampaan yang serba mencekam, pedoman yang dapat dijadikan petunjuk jalan, muncul sebagai kebutuhan mendesak. Sejarah mungkin dapat menjadi pegangan. Sayangnya, kenisbian dunia menjadi kenisbian sejarah juga. Kebudayaan adalah tempat orang bertukar tanda dan berbagai isyarat, namun kenisbian, kebiasaan berlupa kembali membuatnya tanpa makna dan sia-sia.
Sejatinya, para pendahulu telah mewariskan banyak pengalaman yang dapat dijadikan pegangan untuk zaman sekarang. Namun, ingatan manusia terlalu singkat, sementara masa lampau yang menjadi pelajaran, sering dihindari sebagai beban bagi kemerdekaan (Ignas Kleden: 2004).
Nasib Kebudayaan Indonesia
Ada sebuah gejala kemunduran dalam ranah kebudayaan kita. Kemunduran ini semakin menemukan aksentuasinya tatkala bersinggungan dengan kecenderungan masyarakat dewasa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat kita saat ini telah menjadikan budaya individulisme sebagai kebanggaan. Bahkan, individualisme ini kemudian berkamuflase menjadi pusparagam aktivitas dengan tujuan utama menyakiti dan menyengsarakan orang-orang di sekitarnya. Sungguh sebuah ironi, yang sekaligus merupakan penanda bahwa kebudayaan dan rasa-diri telah disumir-pinggirkan.
Salah satu penyebab terpinggirnya kebudayaan, dedah budayawan Iman Budhi Santoso (2003), adalah massifnya ekonomisasi di kalangan masyarakat. Padahal, dampak ekonomisasi ini sangat jelas terhadap kemunduran eksistensi budaya, yang kemudian bermuara pada tidak teraktualisasikannya ekpresi dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsipnya, kebudayaan dikembangkan, dikontrol dan dijadikan bagian dalam salah satu program. Dengan kata lain, kebudayaan menjadi persoalan instrumental.
Pada akhirnya, kebudayaan cenderung hanya merefleksikan maksud-maksud (politik?) tertentu, dan kurang menyentuh persoalan yang mendasar dalam masyarakat. Sedang pada hakikatnya, kebudayaan akan rapuh manakala tidak disangga (disengkuyung) oleh partisipasi masyarakat melalui inisiatif kulturalnya.
Parahnya lagi, kebudayaan acapkali dijadikan kendaraan politik oleh para eksekutif dan politisi bangsa ini. Menanggapi hal itu, budayawan Ignas Kleden dalam bukunya yang lain menandaskan bahwa kebudayaan Indonesia berada di tangan ekseskutif (Ignas Kleden: 1988). Demikianlah ironi yang melingkungi ruang dan rumah budaya kita, budaya Indonesia.
Saatnya Berubah!
Kita termasuk kategori rakyat yang berbudaya apabila kita memiliki pikiran yang bening dan hati yang wening sebagai pijakan dalam berkarya. Oleh sebab itu, jalinan serat-serat dan kearifan budaya yang menggelayuti negara-bangsa ini seharusnya terus dilestarikan. Tatkala bendera reformasi dikibarkan, banyak yang optmistis dengan eksistensi kearifan kebudayaan. Pasalnya, melalui kran reformasi, kebebasan berkreasi diharapkan akan memperkukuh rumah budaya yang ada. Tapi ternyata, reformasi tidak banyak memberikan perubahan.
Dalam terang peradaban seperti sekarang, problem kemanusiaan tidak muncul dari under development, tetapi justru dari over development. Maka dari itu, menjadikan kebudayaan sebagai alas berkehidupan merupakan sebuah kebijaksanaan. Sebab, kebudayaan senantiasa bergerak dari wilayah outward ke inward, juga sebaliknya. Dari sinilah, kebajikan menyeruak dan mewarnai setiap pola pikir dan pola sikap kita.
Dalam tiap peristiwa, timpal Sitor Situmorang (2004), dalam gerak sejarah itu, masing-masing kita, terutama sebagai pemikir dan pekerja di bidang kebudayaan, jelaslah harus mengetahui tempat kita dalam gerak tersebut, apakah akan menjadi penghalang atau akan turut bergerak dan menggerakkan.
Dan saat ini, kita seperti menjadi penghalang. Ironi dan anomali, khususnya terkait kebudayaan, acap kita temui. Kebudayaan, entah karena memang sengaja distrukturkan atau karena kajian-kajian ke arah ini kurang tepat sasaran, masih banyak dipahami hanya seperti liturgi seremonial belaka, misalnya tari-tari tradisional dan upacara adat. Itu saja. Kebudayaan tidak dipahami sebagai sikap diri dalam keberkecimpungan kita terhadap kehidupan, juga bagaimana perannya.
Kita semua telah maklum, kata Umar Kayam, transformasi besar budaya kita menyangkut dua jalur transformasi besar yang saling berkaitan. Yaitu transformasi budaya kita yang menarik budaya etnik ke tatanan budaya negara-kebangsaan, serta transformasi budaya kita yang menggeser budaya agraris tradisional ke tataran budaya industri modern.
Transformasi budaya yang pertama adalah konsekuensi dari komitmen kita untuk bersedia bersatu bernaung di bawah satu negara-kebangsaan yang berbentuk satu republik kesatuan. Sedangkan yang kedua adalah konsekuensi dari komitmen untuk mengubah sistem ekonomi pertanian tradisi menjadi suatu sistem ekonomi industri dan perdagangan.
Memang, kebudayaan bisa dimaknai dengan setiap perilaku manusia. Begitu juga, perilaku seseorang hasil serapan dari budaya lain juga bisa disebut sebagai budaya. Akan tetapi, jika kebudayaan yang baru tersebut justru lebih rendah nilainya daripada yang digantikan, haruskah kebudayaan yang demikian tetap dipertahankan?
Konsepsi tentang baik buruknya kebudayaan memang sangat personal. Meski demikian, sebagai manusia dengan akal dan nurani meruang dalam diri, tentunya kita bisa melakukan pemilahan; mana emas mana kuningan, memegang erat kebudayaan luhur bangsa ini sebagai pijakan pembangunan, atau beriskap yang menghancurkan kebudayaan dan bangsa.
Kearifan budaya kita merupakan harta tak terbilang. Pasalnya, seluruh pentas diam-diam (dari kebudayaan), tambah Putu Wijaya (1999), tetapi yang tak terhingga durasinya itu, adalah sebuah peristiwa spiritual. Sebuah potensi pewarisan yang pada titik-titik kulminasinya akan tercatat sebagai bab-bab penting di dalam sejarah.
Semua hal yang dilandasi dengan spiritualitas tidak akan pernah punah, selalu mengabadi, dan bermuara pada kemaslahatan. Oleh karena itu, kebudayaan harus dijaga dan dilestarikan. Sebab, ia tercipta dari pergumulan batin dan ransuman spiritualitas, yang karenanya akan terus mengada, dan menjadi tonggak kemajuan bangsa kehidupan, termasuk bagi bangsa Indonesia. Momentum tahun baru harus kita jadikan alas dan titik tolak membangun dan memajukan Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment